Always run back to the future …..

Islam

Aku Jodi, Kamu Jodi, Kita semua Jodi (Review Seminar Jodoh Impian)

Pagi yang tak mendung juga tak cerah

Pagi hari Minggu 2 maret 2014 ini telah diselenggarakan acara one day seminar Jodoh Impian di gedung BPPT depan Sarinah. Dan aku sudah jauh-jauh hari ikutan mendaftar seminar ini, kira-kira di bulan Januari, keren nggak? :D. Tapi pas hari H, mengingat acara seminar ini jatuhnya di hari minggu jadi bikin agak-agak malas. Namun aku mencoba menguatkan niat menuntut ilmu untuk berangkat.

image

Seminar apaan sih?

Sebenarnya tentang apa Jodoh Impian ini? Seminar ini gak ada kaitannya sama sekali dengan ajang perjodohan. Di seminar ini dibahas seputar jodoh impian itu sendiri dan tips-tips mengenai jodoh dan pernikahan. So, dibawah ini akan aku coba ceritakan mengenai materi juga hal-hal yang bisa dipetik dari setiap materi yang disampaikan.

Look closer to the ingredients

Materi acara pertama-tama dibawakan oleh teh Pewski, disini teh Pewski bercerita mengenai pengalamannya seputar pencarian si mr the one. Dia bercerita mengenai perbandingan pencarian jodoh dengan cara pacaran dan dengan cara ta’aruf. Singkat cerita dia menyimpulkan bahwa bila terjadi kegagalan menemukan si mr the one ternyata terdapat perbedaan antara cara pacaran dan cara ta’aruf. Dengan cara ta’aruf berdasarkan pengalamannya tidak terlalu terasa menyakitkan seperti yang dirasakan putus ketika pacaran karena pada saat ta’aruf hati dijaga jangan sampai perasaan berkembang menjadi cinta yang lebih mencintai makhlukNya dibandingkan pencipta makhluk itu sendiri. Aku merasa dari cerita ini, membuat keyakinanku bertambah terhadap islam, bahwa islam adalah agama rahmat lil alamin. Allah tak pernah salah memberikan jalan, termasuk jalan dalam menjemput jodoh. Dari sini aku melihat bahwa ta’aruf adalah cara Allah melindungi hambanya bukan hanya dari fitnah zina tapi juga rasa kecewa dan patah hati apabila ternyata prosesnya berbuah kegagalan.

Materi kedua dibawakan oleh Meyda Safira dan teh Fifi. Mungkin ini nama pembicara yang paling aku kenal selama ikutan acara ini. Karena Meyda ini kan pernah main di Ketika Cinta Bertasbih. Sedangkan teh Fifi ini temen duetnya teh Meyda. Disini mereka membawakan sebuah sajak panjang mengenai calon imam, dan mengutarakan harapan-harapan mengenai kehidupan ketika kelak bertemu si pangeran surga. Kemudian dia juga menceritakan pengalamannya mengenai suatu titik dalam kehidupannya dimana ia menyadari bahwa pacaran yang dilakukannya tidaklah sesuai dengan syariat islam. Sehingga pada saat itu dia meminta putus dari pacarnya. Hikmah yang bisa di ambil disini menurutku adalah kita harus berani hijrah kepada kebaikan meski rasanya sakit dan susah untuk ikhlas.

Materi yang ketiga dibawakan oleh Asrifit. Seorang ibu muda yang emang umurnya masih muda. Ia seorang calon dokter gigi dan saat ini msih koas. Dia bercerita bagaimana suka dukanya menjalani pernikahan dini. Bagaimana membagi waktu antara kuliah, menjadi istri dan menjadi ibu. Hikmah yang dapat dipetik dari pengalamannya yakni menikah adalah komitmen. Meski melakukan pernikahan dini apabila mampu memegang komitmen maka pasti akan bisa menjalaninya.

Materi ke empat dibawakan Ibu Septi. Satu kata yang bisa terucap buat ibu ini, AMAZING. Di acara ini ia menceritakan bagaimana me-manage keluarganya sehingga keluarganya menjadi keluarga yang unggul. Hal ini terbukti dari prestasi-prestasi yang diraih oleh putra putrinya yang melebihi apa yang dapat dilakukan oleh anak-anak seusianya pada umumnya meski putra putrinya mendapatkan pendidikan melalui jalur home schooling. Tidak lain ini dilihat dari penuturan putri-putrinya dimana yang tertua sukses kuliah di luar negeri dan yang kedua saat ini menjalani bisnis dibidang peternakan padahal usia mereka belum mencapai dua puluh tahun. Disini juga dia menceritakan ketika mengawali pernikahannya, suaminya meminta dia mendidik sendiri anak-anaknya. Di tambah lagi ia dan suaminya sepakat untuk tidak mengambil ijazah mereka. Jaman gini gak pakai ijazah kerja dimana coba? tapi begitulah niat mereka, mereka tidak mau bergantung pada ijazah dan terjerembab pada kotak rezeki dimana menjemputnya memerlukan ijazah, padahal rezeki itu bisa dicari dimana saja. Hikmah paling besar yang dapat ditauladani dari Ibu Septi adalah totalitas menjadi Ibu rumah tangga. Disini Ibu Septi dapat menunjukkan bahwa profesi ibu rumah tangga merupakan suatu profesi pekerjaan yang tidak bisa diremehkan, karena pekerjaan ibu untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak tangguh dan mandiri bukanlah pekerjaan yang mudah.

Sorry readers,

Sorry for incomplete review. Tulisan di atas sebenarnya sudah kubuat sejak bulan maret 2014 lalu. Tapi karena agak sibuk jadi nggak sempet untuk nerusin review acara Jodoh Impian ini. Alhasil, mau melanjutkan jadinya lupa deh. Padahal masih kurang beberapa materi lagi. Diantaranya materi yang dibawakan oleh teh Fufuelmart dan CanunKamil. Kedua orang ini adalah sepasang suami istri. Intinya mereka menyampaikan bagaimana caranya menjemput jodoh impian. Yang paling penting dalam menjemput jodoh adalah memantaskan diri terlebih dahulu. Caranya memantaskan diri sendiri yakni be positive, bercermin dengan diri sendiri, lalu meluruskan niat hanya karena Allah SWT. Segitu yang kuingat….gak mau nambah-nambahin. Takut salah….

image

Yaa, mungkin segitu review dariku. Maaf untuk pembicara lain yang belum tercover disini. Semoga tulisan ini bermanfaat. Oh ya, sebagai tindak lanjut dari acara ini. Tim jodoh impian masih sering mengadakan beberapa kali workshop. Workshop ini biasanya sifatnya terbatas seperti kelas kecil, tapi mungkin lebih intensif kali yaaa, tapi dompetku nggak kuat, investasinya agak lumayan soalnya hihihi…

Oke last but not least, semoga kita semua dapat menjadi jodoh impian bagi pasangan kita, dan kita bisa mendapatkan jodoh impian kita. Aamiiin ya Rabb.

I got a new friend

Ini efek samping yang positif dari ikutan acara ini. Aku dapat temen baru. Namanya Dewi. Padahal baru kenal, tapi sepanjang acara berasa udah kenal bertahun-tahun. Secara aku introvert banget, dari sekian sahabatku, kayaknya cuma dia yang tahu tentang kisah pencarian pangeran surgaku. Padahal baru kenal loh….hahaha.


Sholat Fardhu Secara Sempurna di Kereta? Bisa kok.

Ini cerita ketika saya naik kereta Gumarang tujuan Surabaya baru-baru ini untuk mengunjungi Saudara yang tinggal disana. Dulu saya sering banget pulang pergi naik kereta ini jaman saya masih kuliah di Surabaya. Karena waktu perjalanan Surabaya -Jakarta dan sebaliknya memakan waktu panjang biasanya sholat Magrib dan Isya saya jamak qoshor dengan posisi duduk. Tapi beda dengan perjalanan kali ini, ada hal yang mengusik saya. Kalau soal jamak dan qoshornya secara ketentuan telah memenuhi syarat jamak dan qoshor. Namun soal apa dasarnya sholat dengan posisi duduk ini dibenarkan atau tidak, ini jadi mengusik pikiran saya. Kemudian saya coba browsing mengenai dasar hukumnya apabila kita berstatus sebagai musafir dan hendak melaksanakan sholat di atas kereta. Dari beberapa artikel yang saya baca mengenai sholat dalam keadaan safar di atas kendaraann, saya menemukan dua kesalahan atas apa yang biasa saya lakukan:
1. Alasan mengambil posisi duduk tidak kuat
2. Alasan yang membenarkan menghadapkan wajah kemana saja juga tidak kuat

Untuk kesalahan pertama, berbeda dengan sholat sunnah, pada saat safar sebaiknya sholat fardhu tetap dilakukan dengan gerakan yang sempurna baik itu ruku maupun sujudnya. Melihat situasi dan kondisi di kereta sebenarnya sangat memungkinkan untuk melakukan gerakan yang sempurna jika kita bisa menemukan tempat yang lebih leluasa dibandingkan di tempat duduk misalnya di gang diantara tempat duduk yang memang cukup luas. Namun demikian, karena gang tersebut diperuntukkan untuk lalu lalang maka agak susah juga bila sholat di gang di antara tempat duduk. Bisa-bisa nanti senggolan sama pramusaji yang lagi bawa nasi goreng. Hehehe.

Untuk kesalahan yang ke dua, jika dipikir-pikir kereta Gumarang Surabaya-Jakarta bergerak dari timur ke barat atau sebaliknya jika dari Jakarta ke Surabaya. Pergerakannya pun rata-rata arahnya konstan, tidak terlalu sering beralih ke utara atau selatan. Menyadari ini, kita dapat memperkirakan di mana arah kiblat sesungguhnya. Jadi kalau dari jakarta arah kiblat berlawanan dengan arah gerak kereta, sedangkan jika dari Surabaya maka arah barat searah dengan arah gerak kereta. Tapi jaman sekarang sudah canggih sih, tinggal keluarin handphone dan jalankan aplikasi kompas, kita akan tahu dimana letak kiblat secara lebih akurat.

Berdasarkan hal tersebut saya termotivasi untuk mencoba mencari-cari kemungkinan tempat sholat/mushola. Tak disangka ternyata tempat itu ada dan memang disediakan oleh pihak KAI. Agak menyesal juga baru tahu sekarang. hehehe. Tapi begitulah, dengan kondisi kereta yang memiliki ruangan seadanya, tempat sholat yang diberikan hanya cukup untuk seorang saja. Kalaupun bisa mungkin berjemaah hanya untuk dua orang saja. itupun berdesak-desakan.

Kalau penasaran dengan wajah dari mushola di atas kereta bisa dilihat gambar di bawah ini. Mushola darurat ini berada di bagian gerbong restorasi. Kenapa saya sebut darurat? lihat saja karena sampai gabung dengan tumpukan kardus pop mie. hehehe.

image

Tapi seperti peribahasa “dikasih hati minta jantung”, tentu saja untuk kedepannya saya berharap KAI bisa menyediakan tempat sholat yang lebih layak, atau kalau memungkinkan membuat satu gerbong menjadi mushola. Tentu saja agar bisa melakukan sholat berjemaah dengan jamaah lebih banyak lagi. Namanya juga andai-andai, boleh saja kan… hehehe.

by the way, berikut ini link referensi yang saya maksud di atas :

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1273:sholat-di-perjalanan&catid=17:fikih-keseharian

http://kitabalumm.blogspot.com/2013/05/keadaan-kedua-bolehnya-sholat-tidak.html

http://muslimah.or.id/fikih/shalat-seorang-musafir.html

Sekian, sampai jumpa lagi di posting berikutnya…. 🙂


Ketika Hawa Bertanya Pada Adam

adam-dan-hawa

 

Tak pernah terbayangkan olehku

Kan hadir dalam rupa apa dirimu

Sosok terakhir …..

Yang kan menggengam sebagian warnaku kemudian merubahnya

Entah kan jadi warna-warni, abu kelabu, hanya gradasi, ataukah pucat pasi,

Hanya Dialah yang tahu….

Tapi, bolehkah kuberusaha karenaNya untukmu ?

Bila kini ku belajar menahan pandangan atasku,

Akankah kau hadir dengan menundukkan pandanganmu?

Bila kini ku belajar mendengar,

Akankah kau hadir dengan kebijaksanaanmu?

Bila kini ku belajar menghargai,

Akankah kau hadir dengan rasa hormatmu?

Bila kini ku belajar menyayangi,

Akankah kau hadir sebagai pelindungku?

Dia telah berjanji padaku….

Dalam eloknya rangkaian barisan ayat-ayat suci…

Bahwa tak kan ada sedikitpun dari amal kan terabaikan

Melainkan mendapat balasan….

Lalu …

Jika aku memilih langkah hidupku denganNya,

Akankah kau hadir padaku dengan langkahmu karenaNya


Indahnya Kisah Hukum Di Jaman Umar

Yuk, ngintip begitu indahnya kisah kasus hukum di jaman Umar…..

 

Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya bersyuraa bahas aneka soal. Tiga orang muda datang menghadap; 2 bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh nan tertunduk dalam belengguan mereka.

 

“Tegakkan keadilan untuk kami hai Amiral Mukminin”, ujar seorang, “Qishash-lah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!”

 

Umar bangkit. “Bertaqwalah pada Allah”, serunya pada semua. “Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?”, selidiknya.

 

Pemuda itu menunduk sesal. “Benar wahai Amiral Mukminin!”, jawabnya ksatria. “Ceritakanlah pada kami kejadiannya!”, tukas Umar.

 

“Aku datang dari pedalaman yang jauh”, ungkapnya, “Kaumku mempercayakan berbagi urusan muamalah untuk kuseslesaikan di kota ini.”

 

“Saat sampai”, lanjutnya, “Kutambatkan untaku di satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut & terpana”

 

“Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak & ragas-rigis tanamannya”

 

“Sungguh aku sangat marah & dengan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini.”

 

“Wahai Amiral Mukminin”, ujar seorang penggugat, “Kau telah dengar pengakuannya, dan kami bisa hadirkan banyak saksi untuk itu.”

 

“Tegakkanlah had Allah atasnya!”, timpal nan lain. Umar galau & bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu.

 

“Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih & baik”, ujar ‘Umar, “Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat”

 

“Izinkan aku”, ujar Umar, “Meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan Diyat atas kematian ayahmu.”

 

“Maaf hai Amiral Mukminin”, potong kedua pemuda dengan mata masih nyala memerah; sedih & marah, “Kami sangat sayangi ayah kami.”

 

“Bahkan andai harta sepenuh bumi dikumpulkan tuk buat kami kaya”, ujar salah satu, “Hati kami hanya kan ridha jiwa dibalas jiwa!”

 

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur, & bertanggungjawab; tetap kehabisan akal yakinkan penggugat

 

“Wahai Amiral Mukminin”, ujar pemuda tergugat itu dengan anggun & gagah, “Tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah Qishash atasku.”

 

“Aku ridha pada ketentuan Allah”, lanjutnya, “Hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah & kewajiban yang tertanggung ini.”

 

“Apa maksudmu?”, tanya hadirin. “Urusan muamalah kaumku”, ujar pemuda itu, “Berilah aku tangguh 3 hari untuk selesaikan semua.”

 

. “Aku berjanji dengan nama Allah yang menetapkan Qishash dalam Al Quran, aku kan kembali 3 hari dari sekarang tuk serahkan jiwaku”

 

“Mana bisa begitu!”, teriak penggugat. “Nak”, ujar ‘Umar, “Tak punyakah kau kerabat & kenalan yang bisa kau limpahi urusan ini?”

 

“Sayangnya tidak hai Amiral Mukminin. Dan bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung hutang & tanggungan amanah lain?”

 

“Baik”, sahut ‘Umar, “Aku memberimu tangguh 3 hari; tapi harus ada seseorang yang menjaminmu bahwa kau tepat janji tuk kembali.”

 

“Aku tak memiliki seorangpun. Hanya Allah, hanya Allah, yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman padaNya”, rajuknya.

 

“Harus orang yang menjaminnya!”, ujar penggugat, “Andai pemuda ini ingkar janji, dia yang kan gantikan tempatnya tuk di-Qishash!”

 

“Jadikan aku penjaminnya hai Amiral Mukminin!”, sebuah suara berat & berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu Salman Al Farisi.

 

“Salman?”, hardik Umar, “Demi Allah engkau belum mengenalnya! Demi Allah jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!”

 

“Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu ya Umar”, ujar Salman, “Aku percaya padanya sebagaimana engkau mempercayainya”

 

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu & menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari berlalu sudah.

 

Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat khawatirkan Salman. Sahabat perantau negeri-pengembara iman itu mulia & tercinta di hati Rasul & sahabatnya.Mentari di hari batas nyaris terbenam; Salman dengan tentang & tawakkal melangtkah siap ke tempat Qishash. Isak pilu tertahan.Tetapi sesosok bayang berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit & nyaris merangkak. “Itu dia!”, pekik Umar

 

Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh & nafas putus-putus ambruk ke pangkuan Umar. “Maafkan aku!”, ujarnya. “Hampir terlambat.”

 

“Urusan kaumku makan waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun & terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari..”

 

“Demi Allah”, ujar Umar sambil menenangkan & meminumi, “Bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?”

 

“Supaya jangan sampai ada yang katakan”, ujar terdakwa itu dalam senyum, “Di kalangan muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.”

 

“Lalu kau hai Salman”, ujar Umar berkaca-kaca, “Mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama-sekali?”

 

“Agar jangan sampai dikatakan”, jawab Salman teguh, “Di kalangan muslimin tak ada lagi saling percaya & menanggung beban saudara”

 

“Allahu Akbar!”, pekik 2 pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya, “Allah & kaum muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya”

 

“Kalian”, kata Umar makin haru, “Apa maksudnya? Jadi kalian memaafkannya? Jadi dia tak jadi di-Qishash? Allahu Akbar! Mengapa?”

 

“Agar jangan ada yang merasa”, sahut keduanya masih terisak, “Di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan & kasih sayang.”

 

Demikian kisah kasus Hukum di zaman Umar yang di saya copas dari twitter  Salim A. Fillah di @salimafillah


Kiat-kiat Mencari Jodoh Yang Baik

image

Mencopas dari Facebook Ustadz Arifin Ilham, berikut ini adalah KIAT KIAT mencari jodoh yg baik:

1.  Sungguh-sungguh BERTAQWA kepada ALLAH, "Barang siapa BERTAQWA kepada ALLAH, niscaya ALLAH tunjukkkan jalan keluar baginya & ALLAH beri rizki dari jalan yang tidak pernah ia duga" (QS 65:2-3),

2. Ikhtiar maksimal dengan merawat diri yakni dengan cara tetap menjaga kehormatan diri sbg hamba ALLAH yqng beriman,

3. Doa dipenghujung malam, "Robby la tadzarny fardan", Ya ALLAH, jangan biarkan hamba membujang, (QS21:89),

4. Perhebat sholawat & istigfar kqrena dosa bisa jadi hijab berkah jodoh,

5. Sholat dhuha, diantara rizki adalah jodoh yg baik,

6. Optimis, insyaALLAH, ALLAH tunjukkan jodoh yg terbaik,

7. Sedekah sebagai pendokrak masalah & membuat doa mustajab,

8. Mohon doa pada orang tua, keluarga dan guru yg istiqomah,

9. Aktifkan diri pada group kajian, Majlis Ilmu & Zikir, insya ALLAH bertemu hamba-hamba ALLAH yg baik pula

10. Tidak salah minta bantuan sahabat untuk "attaa’ruf" saling berkenalan dengan tetap menjaga Etika Islam,

11. Tawakkal & baik sangka atas pd semua TAKDIR ALLAH.

Akhirnya mari kita berdoa kepada ALLAH agar ALLAH menunjukkan JALAN TERINDAH untuk jodoh kita, tdk saja di dunia ini tetapi juga sampai di akhirat kelak…aamiin.


Bolehkah Perempuan Melamar Lelaki?

Dikutip dari surat pembaca pada rubrik konsultasi keluarga majalah suara hidayatullah edisi bulan Dzulhijah 1430 H Dalam beberapa hal syariat islam memberi hak yang sama antara perempuan dan lelaki. Dalam hal berbuat kebaikan 9amal saleh) Allah SWT tidak membedakan, apakah pelakunya lelaki atau perempuan, akan diganjar dengan pahala yang sama. Allah SWT menegaskan :

“Barangsiapa yang mengerjakan amal -amal saleh, baik lelaki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk kedalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (An-Nisaa [4] : 124)

Berikhtiar untuk mendapatkan jodoh merupakan amal saleh, sebagaimana juga menikah merupakan amal yang terpuji. Dalam hal ini, tidak ada halangan bagi kaum perempuan untuk melamar lelaki, sebagaimana lelaki tidak ada larangan untuk melamar wanita yang dicintainya. Syariat Islam memberi hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Kalau boleh disebut halangan, satu-satunya halangan perempuan melamar lelaki idamannya adalah “gengsi” atau “harga diri”. Bagi sebagian orang konon katanya menjunjung tinggi nilai dan adat ketimuran, perbuatan ini dianggap “aib” atau menyalahi adat. Aib itu tidak saja disandang oleh perempuan sebagai individu, tapi juga bagi keluarganya. Inilah penghalang utama dan satu-satunya bagi perempuar yang hendak melamar lelaki. Yang aneh, mengapa para perempuan banyak menuntut emansipasi dan persamaan hak disegala bidang, tapi setelah diberi kesempatan dan hak yang sama dalam hal “melamar” justru dihindari? Mengapa untuk sebuah kebaikan dan kemaslahatan hidup dapat dikalahkan oleh gengsi? Persoalannya kembali kepada masing-masing individu, apakah ia lebih mengutamakan gengsi atau kebahagiaan hidup yang sejati?

Adalah khadijahh binti Khuwailid, perempuan yang tidak ragu-raguuntuk melakukan hal tersebut. Beliau adalah perempuan cantik, kaya dan terhormat. beliau menepis gengsinya demi mempersunting lelaki yang dimatanya terdapat tanda-tanda kemulaiaan dan kematangan pribadi. Lelaki itu tidak lain adalah Muhammad SAW. Khadijah sangat terpikat dengan kemuliaan akhlak dan budi pekertinya. nafisah binti Munabih menangkap kegalauan dan kebimbangan Khadijah, teman dekatnya. ia pun memberanikan diri untuk diutus menemui orang yang sangat dicintainya. Setelah sepakat, berangkatlah Nafisah menemui Muhammad Al-Amin. singkat cerita Muhammad menerima lamaran itu dan kemudian mereka menikah.

Dari kisah ini, kita bisa mengambil ibrah bahwa gengsi dan harga diri itu bisa ditepis atau dikesampingkan. Justru yang harus dipegang teguh adalah syariat. Jika syariat tidak menghalangi, mengapa harus gengsi? Apalah artinya menjaga gengsi dan harga diri jika taruhannya justru neraka ?(ceprit comment : mungkin maksudnya membiarkan berlama-lama menjalin hubungan tanpa adanya status pernikahan) ? Memang gengsi dan harga diri itu perlu, tapi tetap harus diposisikan pada tempatnya. Diasuh Oleh : Ustadz Hamim Thohari